KATA PENGANTAR
Puji
dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya berkat
limpahan anugerah-Nya maka kami dapat menyelesaikan makalah Representasi Media Terhadap Kelompok LGBT.
“Istilah representasi sendiri merujuk pada bagaimana seseorang, satu kelompok,
gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam pemberitaan. Menurut Stuart
Hall ada dua proses representasi...”. Ada pun makalah ini diajukan guna
memenuhi tugas mata kuliah Media dan Masyarakat.
Kami
mengucapkan terima kasih kepada dosen pengasuh, Yopita Sibarani yang telah
memberikan kami waktu untuk menyelesaikan tugas makalah ini. Dan kami
mengucapkan terimakasih juga kepada semua pihak yang telah membantu sehingga
makalah ini diselesaikan tepat pada waktunya. Kami menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, seluruh kritik dan saran yang
bersifat membangun sangat kami harapkan demi penyempurnaan makalah ini.
Semoga
makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan dapat bermanfaat bagi
pembaca, khususnya mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Sumatera Utara.
Medan, 12 Oktober 2015
Tim Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 LATAR BELAKANG
Dalam kehidupan masyarakat
Indonesia pada umumnya, homoseksual dianggap sebagai momok yang harus dijauhi.
Mereka dianggap tidak normal dan tak bisa diterima oleh orang-orang yang
menganggap dirinya normal (heteroseksual). Media massa mempunyai peran penting
dalam pencitraan. Media massa dapat membentuk pencitraan tertentu dari suatu
peristiwa atau suatu kelompok dan dipahami sebagai kebenaran umum dalam
masyarakat. Simbol-simbol atau istilah yang terus menerus diulang menciptakan
citra tersendiri tentang sesuatu di mata masyarakat.
Representasi sendiri dimaknai sebagai bagaimana dunia
dikonstruksikan secara sosial dan disajikan kepada kita dan oleh kita di dalam
pemaknaan tertentu. Representasi dapat didefinisikan sebagai
penggunaan tanda (gambar, bunyi, dan lain-lain) untuk menghubungkan,
menggambarkan, memotret, atau memproduksi sesuatu yang dilihat, diindera,
dibayangkan atau dirasakan dalam bentuk fisik tertentu(Danesi,2012:20).
Menurut Stuart Hall, proses
produksi dan pertukaran makna antara manusia atau antar budaya yang menggunakan
gambar, simbol dan bahasa adalah di sebut representasi. Media paling sering
digunakan dalam produksi dan pertukaran makna adalah bahasa melalui
pengalaman-pengalaman yang ada dalam masyarakat.
Media massa merupakan agen sosial yang
mudah menpengaruhi masyarakat, dan media massa memiliki dampak penyebaran
paling luas. Dampak media massa mungkin tidak secara langsung terjadi dan
dirasakan oleh masyarakat, namun media cukup berperan sangat besar dalam
mempengaruhi seseorang atau masyarakat.
I.2 RUMUSAN MASALAH
1.
Apakah pengertian
representasi?
2.
Apakah
pengertian LGBT?
3.
Bagaimana
representasi media terhadap kelompok LGBT?
4. Bagaimana pengaruh media terhadap persepsi masyarakat pada kaum LGBT?
I.3
TUJUAN
1.
Untuk mengetahui
pengertian representasi
2.
Untuk mengetahui
pengertian tentang LGBT
3.
Untuk
menjelaskan representasi media terhadap kelompok LGBT
4.
Untuk
menjelaskan pengaruh media terhadap persepsi masyarakat pada kaum LGBT
BAB II
ISI
II.1 PENGERTIAN REPRESENTASI
Istilah representasi sendiri merujuk
pada bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu
ditampilkan dalam pemberitaan. Menurut Stuart Hall ada dua proses representasi.
Pertama , representasi mental yaitu konsep tentang ‘sesuatu’ yang ada di kepala
kita masing-masing (peta konseptual). Representasi mental masih merupakan
sesuatu yang abstrak. Kedua, ‘bahasa’ yang berperan penting dalam proses
konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada dalam kepala kita harus diterjemahkan
dalam bahasa yang lazim, supaya kita dapat menghubungkan konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu
dengan tanda dari simbol-simbol tertentu. Media sebagai suatu teks banyak
menebarkan bentuk-bentuk representasi pada isinya.
Jhon Fiske merumuskan tiga proses
yang terjadi dalam representasi melalui tabel di bawah ini.
Pertama
|
Realitas
|
Dalam bahasa tulis seperti dokumen, wawancara,
transkrip, dsb. Sedangkan dalam televisi seperti pakaian, make-up, perilaku,
gerak-gerik, ucapan, ekspresi,suara
|
|
Kedua
|
Representasi
|
Elemen-elemen tadi ditandakan secara teknis. Dalam
bahasa tulis seperti kata, proposisi, kalimat, foto, caption, grafik dsb.
Sedangkan dalam televisi seperti kamera, tata cahaya, editing, musik dsb.
Elemen-elemen tersebut ditransmisikan ke dalam
kode representasionaal yang memasukkan di antaranya bagaiman objek digambarkan
: karakter, narasi, setting, dialog, dsb.
|
|
Ketiga
|
Ideologi
|
Semua elemen diorganisasikan dalam koherensi dan
kode-kode ideologi seperti individualisme, liberalisme, sosialisme,
patriarki, ras, kelas, materialisme, kapitalisme dsb.
|
Pertama, tahap realitas, dalam proses ini
peristiwa atau ide dikonstruksi sebagai realitas oleh media dalam bentuk bahasa
gambar ini umumnya berhubungan dengan aspek seperti pakaian, lingkungan, ucapan
ekspresi dan lain-lain. Disini realitas selalu siap ditandakan.
Kedua,
tahap representasi, dalam proses realitas digambarkan dalam perangkat-perangkat
teknis, seperti bahasa tulis, gambar, grafik, animasi, dan lain-lain. Ketiga ,
tahap ideologis, dalam proses ini peristiwa-peristiwa dihubungkan dan diorganisasikan
ke dalam konvensi-konvensi yang diterima secara ideologis. Bagaiman kode-kode
representasi dihubungkan dan diorganisasikan ke dalam koherensi sosial atau
kepercayaan dominan yang ada di dalam masyarakat.
Menurut
David Croteau dan William Hoynes, Representasi merupakan hasil dari suatu
proses penyeleksian yang menggarisbawahi hal-hal tertentu dan hal lain
diabaikan. Dalam representasi media,
tanda yang akan digunakan untuk melakukan representasi tentang sesuatu
mengalami proses seleksi. Makna yang sesuai dengan kepentingan-kepentingan dan
pencapaian tujuan-tujuan komunikasi ideologisnya itu yang digunakan sementara
tanda-tanda lain diabaikan.
Maka
selama realitas dalam represetasi media tersebut harus memasukkan atau
mengeluarkan komponennya dan juga melakukan pembatasan pada isu-isu tertentu
sehingga mendapatkan realitas yang bermuka banyak bisa dikatakan tidak ada
representasi realitas terutama di media yang benar-benar “benar” atau “nyata”.
Isi
media merupakan suatu bentuk konstruksi realitas sosial. Media melakukan
konstruksi terhadap pesan-pesan yang disampaikan berupa tulisan-tulisan,
gambar-gambar, suara, atau simbol-simbol lain melalui proses penyeleksian dan
manipulasi tertentu sesuai keinginan atau pun ideologi media itu.
Khalayak
pada dasarnya menerima sebuah bentuk realitas yan dikonstruksikan oleh media.
Menurut Gebner dkk, dunia simbol media membentuk konsepsi khalayak tentang
dunia nyata atau dengan kata lain media merupakan konstruksi realitas.
Segala
bentuk realitas termasuk isi media merupakan realitas yang sengaja
dikonstruksi. Berger dan Luckman mengatakan: “institusi masyarakat tercipta dan
dipertahankan atau diubah melalui tindakn dan interaksi manusia. Meskipun
masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara obyektif. Namun pada
kenyataannya semua dibangun dalam defenisi subjektif melalui proses interaksi.
Objektivitas baru bisa terjadi melalui penegassaan berulang-ulang yang
diberikan oleh orang lain yang memiliki defenisi subjektif sama.”
Menurut
penjelasan Berger dan Luckman diatas,
segala yang ada dalam institusi masyarakat dengan sengaja dibentuk oleh
masyarakat itu sendiri melalui suatu interaksi. Setiap interaksi itu terjadi
berdasarkan defenisi subjektif dari tiap anggota masyarakt yang kemudian
ditegaskan secara berulang-ulang daan menjadi sutu nilai objektif dalam
masyarakat.
Menurut Stuart Hall, ada tiga
pendekatan representasi :
- Pendekatan Reflektif, bahwa makna diproduksi oleh manusia melalui ide, media objek dan pengalaman-pengalaman di dalam masyarakat secara nyata.
- Pendekatan Intensional, bahwa penutur bahasa baik lisan maupun tulisan yang memberikan makna unik pada setiap hasil karyanya. Bahasa adalah media yang digunakan oleh penutur dalam mengkomunikasikan makna dalam setiap hal-hal yang berlaku khusus yang disebut unik.
- Pendekatan Konstruksionis, bahwa pembicara dan penulis, memilih dan menetapkan makna dalam pesan atau karya (benda-benda) yang dibuatnya. Tetapi, bukan dunia material (benda-benda) hasil karya seni dan sebagainya yang meninggalkan makna tetapi manusialah yang meletakkan makna.
Tetapi
Stuart Hall menganggap bahwa “ada yang salah” dengan representasi kelompok
minoritas dalam media, bahkan ia meyakini bahwa image yang dimunculkan
oleh media semakin memburuk.
Ada
dua proses besar yang dilakukan oleh media dalam memaknai realitas. Pertama,
memilih fakta. Proses memilih fakta ini didasarkan pada asumsi wartawan. Aspek
memilih fakta tidak dapt dipisahkan dari bagaimana fakta itu dimpahami oleh
media. Ketika melihat suatu peristiwa wartawan mau tidak mau memaki kerangka
konsep dan abstraksi dalam menggambarkan realitas. Realitas yang sama dapat
menciptakan realitas yang berbeda jika
didefenisikan dan dipahami dengan cara yang berbeda. Proses pemilihan fakta ini
tidak semata-mata bagian dari teknis jurnalistik, tetapi juga praktik
representasi. Yakni bagaimana dengan cara dan strategi tertentu media secara
tidak langsung teah mendefenisikan realitas. Dengan memilih fakta tertentu dan
membuang fakta yang lain, sehingga realitas hadir dengan cara ‘bentukan’
tertentu kepada khalayak.
Kedua,
menuliskan fakta. Proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta yang dipilih
itu disajikan kepada khalayak. Gagasan itu dungkapkan dengan kata, kalimat, dan
proposisi apa dengan bantuan aksentuasi foto dan gambar dsb. Pilihan kata-kata
tertentu yang dipakai tidak sekadar teknis jurnalistik, tetapi juga bagian penting dari representasi.
Misrepresentasi
Dalam representasi, sangat mungkin
terjadi misrepresentasi yaitu ketidakbenaran penggambaran atau kesalahan
penggambaran. Seseorang, suatu kelompok, suatu pendapat, sebuah gagasan tidak
ditampilkan sebagaimana mestinya atau adanya, tetapi digambarkan secara buruk.
Misalnya, seorang buruh yang sedang menuntut haknya untuk kenaikan gaji
digambarkan secara buruk sebagai sumber kemacetan dan kerugian perusahaan,
selain itu mahasiswa yang berdemo digambarkan sebagai biang segala kemacetan
lalu lintas, merusak fasilitas umu dan telah berlaku anarkis.
Paling tidak ada empat hal
misrepresentasi yang mungkin terjadi dalam pemberitaan yaitu:
1.
Ekskomunikasi
Ekskomunikasi berhubungan dengan
bagaimana seseorang atau suatu kelompok dikeluarkan dari pembicaraan
publik. Disini, misrepresentasi terjadi
karena seseorang atau suatu kelompok tidak diperkenankan untuk berbicara. Ia
tidak dianggap, bukan bagian dari kita. Karena tidak dianggap sebagai bagian
partisipan publik, maka penggambaran hany terjadi pada pihak kita, tidak ada
kebutuhan untuk mendengar suara dari pihak lain.
2.
Eksklusi
Eksklusi berhubungan dengan
bagaimana seseorang dikucilkan dalam pembicaraan. Mereka dibicarakan dan diajak
bicara, tetapi mereka dipandang lain, mereka buruk dan mereka bukan kita.
Eksklusi terjadi di banyak tempat, dalam banyak sisi kehidupan dimana seseorang
atau suatu kelompok yang mempunyai otoritas dan kemampuan tertentu menganggap
kelompok lain sebagai buruk. Dalam dunia kedokteran misalnya, eksklusi
dilakukan terhadp pengobatan tradisional. Dukun sering direpresentasikan
sebagai tidak ilmiah, tidak berdasar, bahkan penipu. Sebaliknya, dunia kedokteran
dipandang sebagai dunia ilmiah,baik , dan dapat memprediksi penyakit dan
penyembuhannya. Begitu juga dengan hubungan sesama jenis ( lesbi dan gay) juga
dikucilkan dari pembicaraan. Mereka buruk, tidak normal dan menyimpang yang
berbeda dengan kita yang normal dan memenuhi aturan.
3. Marjinalisasi
Dalam marjinalisasi, terjadi
penggambaran buruk kepada pihak/kelompok lain. Akan tetapi berbeda dengan
eksklusi/ekskomunikasi, disini tidak terjadi pemilahan antara pihak kita dan
pihak mereka. Misalnya wanita dalam banyak wacana media yang digambarkan secara
buruk. Wanita direpresentasikan sebagai pihak yang tidak berani, kurang
inisiatif, tidak rasional, dan lebih perasa.
4.
Stereotipe
Stereotipe adlah penyamaan sebuah
kata yang menunjukkan sifat-sift negtif atau positif (tetapi umumnya negatif)
dengan orang, kelas, atau perangkat tindakan. Disini , stereotipe adalah
praktik representasi yang menggambarkan sesutu dengan penuh prasangka, konotasi
yang negatif dan bersifat subjektif. Misalnya, wanita distreotipekan sebagai
sosok yang tidak mandiri, butuh bantuan, dan terlalu mementingkan perasaan.
Sebaliknya laki-laki distereotipe kan sebagai mandiri, tabah, dan rasional.
Streotipe itu pada akhirnya merupakan praktik dimana kelompok tertentu
digambarkan secara buruk oleh kelompok lain.
II.2 PENGERTIAN LGBT
Kaum
minoritas dalam julukan dan retorika di tingkat antar bangsa disebut the
minorities atau minority groups. Kategori masyarakat sebagai fenomena
sosial modern dan pasca modern ini merujuk kepada kelompok masyarakat, yang
kebanyakan adalah kelompok masyarakat yang jumlahnya lebih sedikit dibandingkan
dengan jumlah kelompok masyarakat lain yang dominan seperti LGBT (Lesbi, Gay,
Bioseksual,Transgender).
Komunitas LGBT yang terpinggirkan merupakan suatu komunitas
yang terbentuk berdasarkan persamaan orientasi seksual, persamaan tujuan dan
gaya hidup. Dimana komunitas LGBT tersebut masih belum bisa diterima secara
utuh oleh masyarakat maupun negara. Keberadaan komunitas LGBT yang dianggap
suatu penyimpangan, melanggar norma agama serta menentang kodrat yang
menyebabkan belum bisanya komunitas tersebut diterima sepenuhnya oleh
masyarakat dan negara. Keberadaan komunitas lesbian yang terpinggirkan tersebut
masih dianggap seperti suatu “penyakit menular” yang harus dihindari.
mereka (komunitasLGBT) yang kurang baik di mata
masyarakat, menyebabkan adanya penolakan pengakuan dari masyarakat pada
umumnya.
Adanya revolusi
seksual pada tahun 1960 mendorong lahirnya konsep LGBT. Sebelumnya ada sebutan third
gender yang mengacu pada kaum non-heteroseksual dan dianggap paling tidak
merendahkan kaum ini. Konsep LGBT kemudian berkembang pada tahun 1990-an. LGBT
merupakan adaptasi dari inisial LGB yang menggantikan frase komunitas gay yang
dirasakan tidak representatif bagi kaum non-heteroseksual. LGBT digunakan untuk
menekankan keberagaman budaya identitas seksual dan gender. Kaum LGBT
menggunakan simbol-simbol yang dipahami secara internasional seperti bendera
pelangi dan segitiga merah muda.
Indikator terbentuknya komunitas
lesbian yang terpinggirkan adalah sebagai berikut:
1. Dikarenakan adanya kesamaan orientasi seksual.
2. Adanya kesamaan gaya hidup
3. Adanya kesamaan tujuan yaitu ingin agar keberadaan
komunitas mereka dapat diterima masyarakat.
Dengan kesamaan tersebut di atas,
seseorang (lesbian) mempunyai ikatan emosional yang kuat antar satu dengan
lainnya, yang mempunyai perasaan senasib, kesamaan orientasi seksual, dan
memperjuangkan hal yang sama yaitu perjuangan untuk mendaptkan pengakuan di
masyarakat, negara dan hukum. Maka terbentuklah komunitas LGBT ini dengan
harapan dan tujuan agar kelak perjuangan mereka untuk dapat diterima oleh
masyarakat umum dan negara sebagai bagian dari mereka tanpa adanya perbedaan
seperti sekarang ini.
Homoseksualitas
adalah rasa ketertarikan romantis dan/atau seksual atau perilaku antara
individu berjenis kelamin atau gender yang sama. Sebagai orientasi seksual,
homoseksualitas mengacu kepada pola berkelanjutan atau disposisi untuk
pengalaman seksual, kasih sayang, atau ketertarikan romantis terutama atau
secara eksklusif pada orang dari jenis kelamin sama. Istilah umum dalam
homoseksualitas yang sering digunakan adalah lesbian untuk perempuan pecinta
sesama jenis dan gay untuk pria pecinta sesama jenis.
Media massa menggambarkan kaum LGBT sebagai kaum yang menyimpang. Media
massa Barat yang memiliki peran utama dalam penyebaran informasi dalam proses
globalisasi telah menyebarkan stereotipe yang diskriminatif terhadap kaum ini.
Begitu juga dengan citra kaum homoseksual, salah satu stereotip yang berkembang
dalam masyarakat Indonesia dan dunia adalah mengenai kaum homoseksual yang
dianggap menyimpang dari norma. Selain dianggap menyimpang, beberapa
pemberitaan tentang kasus kriminal yang dilakukan kaum homoseksual juga kerap
membuat masyarakat menarik kesimpulan bahwa homoseksual cenderung melakukan
kekerasan.
Pencitraan
yang sudah begitu melekat dalam benak masyarakat ini kemudian berkembang
menjadi stereotip yang kemudian diteruskan generasi ke generasi (Gabner, 2007:
9). Misal, teroris itu identik dengan janggut dan sorban. Foto atau video
teroris berjanggut dan bersorban menanamkan pemahaman di masyarakat kalau
teroris itu berjanggut dan bersorban.
II.3 REPRESENTASI
MEDIA TERHADAP KELOMPOK LGBT
BERITA I
Tessy Srimulat, berkah berdandan seperti wanita

Tessy Srimulat, sosok komedian yang sangat melekat di
masyarakat pada era 1980-an. Di setiap penampilannya, dia selalu hadir dengan
dandanan serba menor, dan bergaya layaknya seorang perempuan. Tak lupa
menyematkan cincin akik di jari-jarinya dan menjadikannya sebagai ciri khas.
Adalah Kabul Basuki, pria yang berada di balik sosok Tessy ini. Pria kelahiran 31 Desember 1947 ini mengambil nama Tessy karena terinspirasi dari nama putri sulungnya sendiri, Tessy Wahyuni Riwayati Hartatik.
Sebelum menjadi pelawak, Kabul sempat menjadi bagian dari operasi pembebasan Irian Barat pada 1961-1963. Dia merupakan bagian dari pasukan Marinir Angkatan Laut.
Lepas dari kariernya di dunia militer, Kabul memilih bergabung dengan seni panggung hiburan rakyat di Surabaya, kemudian bergabung bersama Srimulat Surabaya pada 1979.
Saat bergabung bersama Srimulat itulah ia mulai tampil sebagai wanita. Gaya ini dimulainya ketika berperan sebagai hansip dengan gaya gemulai. Sejak itu, ia terus berperan sebagai perempuan.
Ketika itu, Tessy mengaku tampil dengan gaya wanita atas inisiatifnya sendiri. Dia seakan tidak peduli meski penampilannya pria asal Banyuwangi ini mendapat banyak cibiran. Baginya, peran itu membawa suatu keberkahan bagi keluarga.
Keaktifannya di dunia hiburan mulai menurun ketika dirinya mendapat teguran keras dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pada 2008 lalu. KPI beralasan, peran yang diperagakan itu merusak moral generasi anak bangsa, namun ia tetap membela diri dengan menyatakan penampilan itu merupakan ciri khasnya sebagai pelawak.
Pelawak Senior ini beranggapan, selama memainkan peran sebagai wanita, dia tidak pernah bermaksud untuk masyarakat meniru gayanya. Justru Tessy berharap, perannya itu dapat menghibur masyarakat. Terutama agar publik tahu perannya telah menjadi sebagai sumber penghidupannya.
Tessy menyatakan, tak pernah menyesali penampilannya sebagai pelawak yang kebanci-bancian. Bahkan, ia balik menuding KPI telah melanggar hak seseorang untuk berkreasi dan berkarya.
Adalah Kabul Basuki, pria yang berada di balik sosok Tessy ini. Pria kelahiran 31 Desember 1947 ini mengambil nama Tessy karena terinspirasi dari nama putri sulungnya sendiri, Tessy Wahyuni Riwayati Hartatik.
Sebelum menjadi pelawak, Kabul sempat menjadi bagian dari operasi pembebasan Irian Barat pada 1961-1963. Dia merupakan bagian dari pasukan Marinir Angkatan Laut.
Lepas dari kariernya di dunia militer, Kabul memilih bergabung dengan seni panggung hiburan rakyat di Surabaya, kemudian bergabung bersama Srimulat Surabaya pada 1979.
Saat bergabung bersama Srimulat itulah ia mulai tampil sebagai wanita. Gaya ini dimulainya ketika berperan sebagai hansip dengan gaya gemulai. Sejak itu, ia terus berperan sebagai perempuan.
Ketika itu, Tessy mengaku tampil dengan gaya wanita atas inisiatifnya sendiri. Dia seakan tidak peduli meski penampilannya pria asal Banyuwangi ini mendapat banyak cibiran. Baginya, peran itu membawa suatu keberkahan bagi keluarga.
Keaktifannya di dunia hiburan mulai menurun ketika dirinya mendapat teguran keras dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pada 2008 lalu. KPI beralasan, peran yang diperagakan itu merusak moral generasi anak bangsa, namun ia tetap membela diri dengan menyatakan penampilan itu merupakan ciri khasnya sebagai pelawak.
Pelawak Senior ini beranggapan, selama memainkan peran sebagai wanita, dia tidak pernah bermaksud untuk masyarakat meniru gayanya. Justru Tessy berharap, perannya itu dapat menghibur masyarakat. Terutama agar publik tahu perannya telah menjadi sebagai sumber penghidupannya.
Tessy menyatakan, tak pernah menyesali penampilannya sebagai pelawak yang kebanci-bancian. Bahkan, ia balik menuding KPI telah melanggar hak seseorang untuk berkreasi dan berkarya.
"Saya berterima kasih sama KPI. Karena KPI telah
membunuh karakter saya. Saya tidak boleh pakai- pakaian cewek. Itu saya merasa
tidak masuk akal. Jadi Tessy akan menjadi Tessy bukan Tesso. Bukan yang
lain," keluh Tessy seperti dilansir KapanLagi.com pada Kamis
(12/07/2012).
Menurut pengamat media, Dadang Rahmat Hidayat, munculnya program dengan menampilkan sejumlah pemainnya dengan gaya kebanci-bancian merupakan fenomena yang tidak akan hilang. Sebab, kemunculan mereka lebih banyak dipengaruhi oleh fenomena sosial.
"Ini memang fenomena yang menurut saya akan terus menerus muncul, karena fenomena media itu sering kali tdk bisa lepas dari fenomena sosial," ujar Dadang yang juga mantan Ketua KPI kepada merdeka.com
Menurut pengamat media, Dadang Rahmat Hidayat, munculnya program dengan menampilkan sejumlah pemainnya dengan gaya kebanci-bancian merupakan fenomena yang tidak akan hilang. Sebab, kemunculan mereka lebih banyak dipengaruhi oleh fenomena sosial.
"Ini memang fenomena yang menurut saya akan terus menerus muncul, karena fenomena media itu sering kali tdk bisa lepas dari fenomena sosial," ujar Dadang yang juga mantan Ketua KPI kepada merdeka.com
BERITA II
Komunitas LGBT: Perdamaian Milik Semua Orang
Minggu, 20 September 2015 14:55 WIB
Tribunnews.com/Dennis Destryawan
Komunitas LGBT merayakan Hari
Perdamaian Dunia, jatuh tiap 21 September, di Balai Kota Jakarta, Minggu
(20/9/2015).

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Dennis Destryawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Komunitas Lesbian Gay Bisexual Transgender (LGBT)
Jakarta di Hari Perdamaian Internasional ini berharap tidak ada lagi
diskriminasi menimpa mereka.
“Harapan
kita perdamaian itu milik semua orang tanpa pandang agama, suku, dan orientasi
seksual. Enggak ada lagi diskriminasi ke komunitas LGBT,” ujar Sekretaris
Umum LSM Arus Pelangi, Rian di Balai Kota Jakarta,
(20/9/2015).
Selama ini kaum LGBT sering
mengalami kekerasan, entah itu cemoohan atau kekerasan fisik. Sulit sekali
seorang wanita pria (waria) untuk mendapatkan pekerjaan di sektor formal dan
pemerintahan. Sehingga sebagian mereka memilih bungkam dan tidak menceritakan
diri mereka adalah kaum LGBT.
“Bagi
mereka yang tidak terbuka orientasi seksualnya
masih bisa bekerja di sektor formal. Banyak yang tidak terbuka, karena kalau
terbuka banyak dari mereka yang akan mengalami penolakan," terang Rian.
Pada 1981 PBB menetapkan Hari
Perdamaian Dunia jatuh tiap 21 Sepember tapi mulai dirayakan setahun
berikutnya. Kini di berbagai tempat di Indonesia, lintas organisasi termasuk
komunitas LGBT merayakannya.
II.4 PENGARUH
MEDIA TERHADAP PERSEPSI MASYARAKAT PADA
KAUM LGBT (ANALISIS DARI KEDUA BERITA)
BERITA I
Dalam kasus diatas, penampilan tokoh banci di media massa, khususnya televisi dijadikan
komoditas yang mempunyai nilai jual untuk khalayak dan pengiklan. Framing
terus menerus dilanggengkan media massa dalam pencitraan terhadap banci. Hal
ini berimbas negatif pada kaum transgender yang tidak ada kepentingan komersial
sama sekali dalam dunia hiburan. Mereka mendapat perlakuan yang sama, diperolok
dalam kehidupan nyata sebagaimana khalayak memperlakukan tokoh-tokoh banci di
televisi. Sisi lain dari seorang transgender tidak dipandang oleh kebanyakan
orang yang sudah memiliki stereotipe seperti yang telah ditanamkan media massa.
BERITA II
Dari contoh kasus diatas dapat kita
simpulkan bahwa eksistensi dan perkembangan kelompok Lesbian, Gay, Biseksual,
dan Transgender/Transeksual (LGBT) tidak terlepas dari perkembangan
globalisasi. Hal itu semakin nyata sebab di tengah derap arus globalisasi
kelompok LGBT kian berani menunjukkan eksistensi dan jati diri mereka. Tidak
hanya di negara-negara Barat yang menjunjung kebebasan dan nilai-nilai liberal,
di Indonesia sebagai negara dengan budaya Timur kelompok LGBT semakin gencar
memperjuangkan dan menampakkan orientasi seksual dan identitas gender mereka.
Tidak heran kemudian jika kelompok atau komunitas LGBT tumbuh subur
dengan berusaha menuntut pengakuan atas hak-hak mereka sebagai warga negara dan
sebagai manusia.
Media massa dipengaruhi oleh
ideologi dimana dia berada di negara itu, misalnya Indonesia dan Amerika. Media massa sendiri bukanlah institusi yang netral dalam memberitakan sesuatu.
Adanya stereotipe negatif mengenai kaum LGBT tidak terlepas dari peran
institusi agama yang memiliki posisi kuat dalam masyarakat Indonesia. Agama
mayoritas menolak keberadaan kaum non-heteroseksual dengan basis ajaran dari
Tuhannya. Di Barat sendiri, di mana agama Kristen banyak berkembang juga
mengajarkan hal serupa. Kaum LGBT belum mendapat tempat untuk diterima oleh
agama tersebut karena hubungan kaum LGBT dianggap menyimpang.
Media massa
yang melakukan framing memberikan kemungkinan sangat kecil bagi cara
pandang berbeda dari masyarakat dalam melihat kaum LGBT. Sekalipun ada
pemberitaan positif mengenai kaum LGBT, media menyeleksi informasi tersebut dan
ketika suatu hal yang pro kaum LGBT menyeruak, maka yang terjadi adalah
kontroversi. Hal ini merupakan sesuatu yang tidak umum diterima masyarakat yang
sudah terlanjur memaknai LGBT sebagai suatu momok sesuai arahan media massa.
BAB III
KESIMPULAN
Representasi
adalah bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan
dalam pemberitaan. Menurut Stuart Hall ada dua proses representasi. Pertama ,
representasi mental yaitu konsep tentang ‘sesuatu’ yang ada di kepala kita
masing-masing (peta konseptual). Representasi mental masih merupakan sesuatu
yang abstrak. Kedua, ‘bahasa’ yang berperan penting dalam proses konstruksi
makna. Menurut David Croteau dan William Hoynes, Representasi merupakan hasil
dari suatu proses penyeleksian yang menggarisbawahi hal-hal tertentu dan hal
lain diabaikan.
Komunitas
LGBT yang terpinggirkan merupakan suatu
komunitas yang terbentuk berdasarkan persamaan orientasi seksual, persamaan
tujuan dan gaya hidup. Dimana komunitas LGBT tersebut masih belum bisa diterima
secara utuh oleh masyarakat maupun negara. Keberadaan komunitas LGBT yang
dianggap suatu penyimpangan, melanggar norma agama serta menentang kodrat yang
menyebabkan belum bisanya komunitas tersebut diterima sepenuhnya oleh
masyarakat dan negara.
Media massa menggambarkan kaum LGBT sebagai kaum yang menyimpang. Media
massa Barat yang memiliki peran utama dalam penyebaran informasi dalam proses
globalisasi telah menyebarkan stereotipe yang diskriminatif terhadap kaum ini.
Begitu juga dengan citra kaum homoseksual, salah satu stereotip yang berkembang
dalam masyarakat Indonesia dan dunia adalah mengenai kaum homoseksual yang
dianggap menyimpang dari norma. Selain dianggap menyimpang, beberapa
pemberitaan tentang kasus kriminal yang dilakukan kaum homoseksual juga kerap
membuat masyarakat menarik kesimpulan bahwa homoseksual cenderung melakukan
kekerasan.
DAFTAR
PUSTAKA
ü Eriyanto, Analisis
Wacana. 2001, Yogyakarta: LKiS
ü Seto, Indiwan. Semiotika
Komunikasi. 2011, Jakarta: Mitra Wacana Media
ü Mcquail, Dennis. Teori
Komunikasi Massa. 1987, Jakarta: Erlangga
ü Being_LGBT_in_Asia_Indonesia_Country_Report_Bahasa_language.pdf
ü Citra
Homoseksual Dalam Media Masyarakat Online Nasional.pdf
ü Media dan
Kelompok Rentan di Indonesia,
(Nugroho, Nugraha et all.,2012)
SkyBet Casino: New Customer Offer | 2021/2022
BalasHapusSkyBet Casino is a fantastic online find air jordan 18 retro red suede casino. SkyBet is a fantastic sportsbook, but air jordan 18 retro racer blue sports also has excellent customer 도박영화 service, air jordan 18 retro great casino make air jordan 18 retro red suede experience.