Senin, 02 November 2015

MEDIA DAN MASYARAKAT “REPRESENTASI MEDIA TERHADAP KELOMPOK LGBT”



KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya berkat limpahan anugerah-Nya maka kami dapat menyelesaikan makalah Representasi Media Terhadap Kelompok LGBT. “Istilah representasi sendiri merujuk pada bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam pemberitaan. Menurut Stuart Hall ada dua proses representasi...”. Ada pun makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah Media dan Masyarakat.
Kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pengasuh, Yopita Sibarani yang telah memberikan kami waktu untuk menyelesaikan tugas makalah ini. Dan kami mengucapkan terimakasih juga kepada semua pihak yang telah membantu sehingga makalah ini diselesaikan tepat pada waktunya. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, seluruh kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi penyempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan dapat bermanfaat bagi pembaca, khususnya mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Sumatera Utara.


Medan, 12 Oktober 2015


  Tim Penulis




BAB I
PENDAHULUAN

I.1 LATAR BELAKANG
Dalam kehidupan masyarakat Indonesia pada umumnya, homoseksual dianggap sebagai momok yang harus dijauhi. Mereka dianggap tidak normal dan tak bisa diterima oleh orang-orang yang menganggap dirinya normal (heteroseksual). Media massa mempunyai peran penting dalam pencitraan. Media massa dapat membentuk pencitraan tertentu dari suatu peristiwa atau suatu kelompok dan dipahami sebagai kebenaran umum dalam masyarakat. Simbol-simbol atau istilah yang terus menerus diulang menciptakan citra tersendiri tentang sesuatu di mata masyarakat.
Representasi sendiri dimaknai sebagai bagaimana dunia dikonstruksikan secara sosial dan disajikan kepada kita dan oleh kita di dalam pemaknaan tertentu.  Representasi dapat didefinisikan sebagai penggunaan tanda (gambar, bunyi, dan lain-lain) untuk menghubungkan, menggambarkan, memotret, atau memproduksi sesuatu yang dilihat, diindera, dibayangkan atau dirasakan dalam bentuk fisik tertentu(Danesi,2012:20).
Menurut Stuart Hall, proses produksi dan pertukaran makna antara manusia atau antar budaya yang menggunakan gambar, simbol dan bahasa adalah di sebut representasi. Media paling sering digunakan dalam produksi dan pertukaran makna adalah bahasa melalui pengalaman-pengalaman yang ada dalam masyarakat.  Media massa merupakan agen sosial yang mudah menpengaruhi masyarakat, dan media massa memiliki dampak penyebaran paling luas. Dampak media massa mungkin tidak secara langsung terjadi dan dirasakan oleh masyarakat, namun media cukup berperan sangat besar dalam mempengaruhi seseorang atau masyarakat.

I.2  RUMUSAN MASALAH
1.     Apakah pengertian representasi?
2.     Apakah pengertian LGBT?
3.     Bagaimana representasi media terhadap kelompok LGBT?
4.     Bagaimana pengaruh media  terhadap persepsi masyarakat pada kaum LGBT?

I.3 TUJUAN
1.         Untuk mengetahui pengertian representasi
2.         Untuk mengetahui pengertian tentang LGBT
3.         Untuk menjelaskan representasi media terhadap kelompok LGBT
4.         Untuk menjelaskan pengaruh media terhadap persepsi masyarakat pada kaum LGBT



BAB II
ISI
II.1  PENGERTIAN REPRESENTASI
            Istilah representasi sendiri merujuk pada bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam pemberitaan. Menurut Stuart Hall ada dua proses representasi. Pertama , representasi mental yaitu konsep tentang ‘sesuatu’ yang ada di kepala kita masing-masing (peta konseptual). Representasi mental masih merupakan sesuatu yang abstrak. Kedua, ‘bahasa’ yang berperan penting dalam proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada dalam kepala kita harus diterjemahkan dalam bahasa yang lazim, supaya kita dapat menghubungkan  konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu dengan tanda dari simbol-simbol tertentu. Media sebagai suatu teks banyak menebarkan bentuk-bentuk representasi pada isinya.
            Jhon Fiske merumuskan tiga proses yang terjadi dalam representasi melalui tabel di bawah ini.
Pertama
Realitas

Dalam bahasa tulis seperti dokumen, wawancara, transkrip, dsb. Sedangkan dalam televisi seperti pakaian, make-up, perilaku, gerak-gerik, ucapan, ekspresi,suara
Kedua
Representasi

Elemen-elemen tadi ditandakan secara teknis. Dalam bahasa tulis seperti kata, proposisi, kalimat, foto, caption, grafik dsb. Sedangkan dalam televisi seperti kamera, tata cahaya, editing, musik dsb.
Elemen-elemen tersebut ditransmisikan ke dalam kode representasionaal yang memasukkan di antaranya bagaiman objek digambarkan : karakter, narasi, setting, dialog, dsb.
Ketiga
Ideologi

Semua elemen diorganisasikan dalam koherensi dan kode-kode ideologi seperti individualisme, liberalisme, sosialisme, patriarki, ras, kelas, materialisme, kapitalisme dsb.

 Pertama, tahap realitas, dalam proses ini peristiwa atau ide dikonstruksi sebagai realitas oleh media dalam bentuk bahasa gambar ini umumnya berhubungan dengan aspek seperti pakaian, lingkungan, ucapan ekspresi dan lain-lain. Disini realitas selalu siap ditandakan.
Kedua, tahap representasi, dalam proses realitas digambarkan dalam perangkat-perangkat teknis, seperti bahasa tulis, gambar, grafik, animasi, dan lain-lain. Ketiga , tahap ideologis, dalam proses ini peristiwa-peristiwa dihubungkan dan diorganisasikan ke dalam konvensi-konvensi yang diterima secara ideologis. Bagaiman kode-kode representasi dihubungkan dan diorganisasikan ke dalam koherensi sosial atau kepercayaan dominan yang ada di dalam masyarakat.
Menurut David Croteau dan William Hoynes, Representasi merupakan hasil dari suatu proses penyeleksian yang menggarisbawahi hal-hal tertentu dan hal lain diabaikan. Dalam  representasi media, tanda yang akan digunakan untuk melakukan representasi tentang sesuatu mengalami proses seleksi. Makna yang sesuai dengan kepentingan-kepentingan dan pencapaian tujuan-tujuan komunikasi ideologisnya itu yang digunakan sementara tanda-tanda lain diabaikan.
Maka selama realitas dalam represetasi media tersebut harus memasukkan atau mengeluarkan komponennya dan juga melakukan pembatasan pada isu-isu tertentu sehingga mendapatkan realitas yang bermuka banyak bisa dikatakan tidak ada representasi realitas terutama di media yang benar-benar “benar” atau “nyata”.
Isi media merupakan suatu bentuk konstruksi realitas sosial. Media melakukan konstruksi terhadap pesan-pesan yang disampaikan berupa tulisan-tulisan, gambar-gambar, suara, atau simbol-simbol lain melalui proses penyeleksian dan manipulasi tertentu sesuai keinginan atau pun ideologi media itu.
Khalayak pada dasarnya menerima sebuah bentuk realitas yan dikonstruksikan oleh media. Menurut Gebner dkk, dunia simbol media membentuk konsepsi khalayak tentang dunia nyata atau dengan kata lain media merupakan konstruksi realitas.
Segala bentuk realitas termasuk isi media merupakan realitas yang sengaja dikonstruksi. Berger dan Luckman mengatakan: “institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui tindakn dan interaksi manusia. Meskipun masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara obyektif. Namun pada kenyataannya semua dibangun dalam defenisi subjektif melalui proses interaksi. Objektivitas baru bisa terjadi melalui penegassaan berulang-ulang yang diberikan oleh orang lain yang memiliki defenisi subjektif sama.”
Menurut penjelasan Berger dan Luckman diatas,  segala yang ada dalam institusi masyarakat dengan sengaja dibentuk oleh masyarakat itu sendiri melalui suatu interaksi. Setiap interaksi itu terjadi berdasarkan defenisi subjektif dari tiap anggota masyarakt yang kemudian ditegaskan secara berulang-ulang daan menjadi sutu nilai objektif dalam masyarakat.
Menurut Stuart Hall, ada tiga pendekatan representasi :
  1. Pendekatan Reflektif, bahwa makna diproduksi oleh manusia melalui ide, media objek dan pengalaman-pengalaman di dalam masyarakat secara nyata.
  2. Pendekatan Intensional, bahwa penutur bahasa baik lisan maupun tulisan yang memberikan makna unik pada setiap hasil karyanya. Bahasa adalah media yang digunakan oleh penutur dalam mengkomunikasikan makna dalam setiap hal-hal yang berlaku khusus yang disebut unik.
  3. Pendekatan Konstruksionis, bahwa pembicara dan penulis, memilih dan menetapkan makna dalam pesan atau karya (benda-benda) yang dibuatnya. Tetapi, bukan dunia material (benda-benda) hasil karya seni dan sebagainya yang meninggalkan makna tetapi manusialah yang meletakkan makna.
Tetapi Stuart Hall menganggap bahwa “ada yang salah” dengan representasi kelompok minoritas dalam media, bahkan ia meyakini bahwa image yang dimunculkan oleh media semakin memburuk.
Ada dua proses besar yang dilakukan oleh media dalam memaknai realitas. Pertama, memilih fakta. Proses memilih fakta ini didasarkan pada asumsi wartawan. Aspek memilih fakta tidak dapt dipisahkan dari bagaimana fakta itu dimpahami oleh media. Ketika melihat suatu peristiwa wartawan mau tidak mau memaki kerangka konsep dan abstraksi dalam menggambarkan realitas. Realitas yang sama dapat menciptakan realitas yang berbeda  jika didefenisikan dan dipahami dengan cara yang berbeda. Proses pemilihan fakta ini tidak semata-mata bagian dari teknis jurnalistik, tetapi juga praktik representasi. Yakni bagaimana dengan cara dan strategi tertentu media secara tidak langsung teah mendefenisikan realitas. Dengan memilih fakta tertentu dan membuang fakta yang lain, sehingga realitas hadir dengan cara ‘bentukan’ tertentu kepada khalayak.
Kedua, menuliskan fakta. Proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta yang dipilih itu disajikan kepada khalayak. Gagasan itu dungkapkan dengan kata, kalimat, dan proposisi apa dengan bantuan aksentuasi foto dan gambar dsb. Pilihan kata-kata tertentu yang dipakai tidak sekadar teknis jurnalistik, tetapi  juga bagian penting dari representasi.
Misrepresentasi
            Dalam representasi, sangat mungkin terjadi misrepresentasi yaitu ketidakbenaran penggambaran atau kesalahan penggambaran. Seseorang, suatu kelompok, suatu pendapat, sebuah gagasan tidak ditampilkan sebagaimana mestinya atau adanya, tetapi digambarkan secara buruk. Misalnya, seorang buruh yang sedang menuntut haknya untuk kenaikan gaji digambarkan secara buruk sebagai sumber kemacetan dan kerugian perusahaan, selain itu mahasiswa yang berdemo digambarkan sebagai biang segala kemacetan lalu lintas, merusak fasilitas umu dan telah berlaku anarkis.
            Paling tidak ada empat hal misrepresentasi yang mungkin terjadi dalam pemberitaan yaitu:
1. Ekskomunikasi
            Ekskomunikasi berhubungan dengan bagaimana seseorang atau suatu kelompok dikeluarkan dari pembicaraan publik.  Disini, misrepresentasi terjadi karena seseorang atau suatu kelompok tidak diperkenankan untuk berbicara. Ia tidak dianggap, bukan bagian dari kita. Karena tidak dianggap sebagai bagian partisipan publik, maka penggambaran hany terjadi pada pihak kita, tidak ada kebutuhan untuk mendengar suara dari pihak lain.
2. Eksklusi
            Eksklusi berhubungan dengan bagaimana seseorang dikucilkan dalam pembicaraan. Mereka dibicarakan dan diajak bicara, tetapi mereka dipandang lain, mereka buruk dan mereka bukan kita. Eksklusi terjadi di banyak tempat, dalam banyak sisi kehidupan dimana seseorang atau suatu kelompok yang mempunyai otoritas dan kemampuan tertentu menganggap kelompok lain sebagai buruk. Dalam dunia kedokteran misalnya, eksklusi dilakukan terhadp pengobatan tradisional. Dukun sering direpresentasikan sebagai tidak ilmiah, tidak berdasar, bahkan penipu. Sebaliknya, dunia kedokteran dipandang sebagai dunia ilmiah,baik , dan dapat memprediksi penyakit dan penyembuhannya. Begitu juga dengan hubungan sesama jenis ( lesbi dan gay) juga dikucilkan dari pembicaraan. Mereka buruk, tidak normal dan menyimpang yang berbeda dengan kita yang normal dan memenuhi aturan.
3.  Marjinalisasi
            Dalam marjinalisasi, terjadi penggambaran buruk kepada pihak/kelompok lain. Akan tetapi berbeda dengan eksklusi/ekskomunikasi, disini tidak terjadi pemilahan antara pihak kita dan pihak mereka. Misalnya wanita dalam banyak wacana media yang digambarkan secara buruk. Wanita direpresentasikan sebagai pihak yang tidak berani, kurang inisiatif, tidak rasional, dan lebih perasa.
4. Stereotipe
            Stereotipe adlah penyamaan sebuah kata yang menunjukkan sifat-sift negtif atau positif (tetapi umumnya negatif) dengan orang, kelas, atau perangkat tindakan. Disini , stereotipe adalah praktik representasi yang menggambarkan sesutu dengan penuh prasangka, konotasi yang negatif dan bersifat subjektif. Misalnya, wanita distreotipekan sebagai sosok yang tidak mandiri, butuh bantuan, dan terlalu mementingkan perasaan. Sebaliknya laki-laki distereotipe kan sebagai mandiri, tabah, dan rasional. Streotipe itu pada akhirnya merupakan praktik dimana kelompok tertentu digambarkan secara buruk oleh kelompok lain.
II.2 PENGERTIAN LGBT
Kaum minoritas dalam julukan dan retorika di tingkat antar bangsa disebut the minorities atau minority groups. Kategori masyarakat sebagai fenomena sosial modern dan pasca modern ini merujuk kepada kelompok masyarakat, yang kebanyakan adalah kelompok masyarakat yang jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah kelompok masyarakat lain yang dominan seperti LGBT (Lesbi, Gay, Bioseksual,Transgender).
 Komunitas LGBT  yang terpinggirkan merupakan suatu komunitas yang terbentuk berdasarkan persamaan orientasi seksual, persamaan tujuan dan gaya hidup. Dimana komunitas LGBT tersebut masih belum bisa diterima secara utuh oleh masyarakat maupun negara. Keberadaan komunitas LGBT yang dianggap suatu penyimpangan, melanggar norma agama serta menentang kodrat yang menyebabkan belum bisanya komunitas tersebut diterima sepenuhnya oleh masyarakat dan negara. Keberadaan komunitas lesbian yang terpinggirkan tersebut masih dianggap seperti suatu “penyakit menular” yang harus dihindari.
mereka (komunitasLGBT) yang kurang baik di mata masyarakat, menyebabkan adanya penolakan pengakuan dari masyarakat pada umumnya.
Adanya revolusi seksual pada tahun 1960 mendorong lahirnya konsep LGBT. Sebelumnya ada sebutan third gender yang mengacu pada kaum non-heteroseksual dan dianggap paling tidak merendahkan kaum ini. Konsep LGBT kemudian berkembang pada tahun 1990-an. LGBT merupakan adaptasi dari inisial LGB yang menggantikan frase komunitas gay yang dirasakan tidak representatif bagi kaum non-heteroseksual. LGBT digunakan untuk menekankan keberagaman budaya identitas seksual dan gender. Kaum LGBT menggunakan simbol-simbol yang dipahami secara internasional seperti bendera pelangi dan segitiga merah muda.

Indikator terbentuknya komunitas lesbian yang terpinggirkan adalah sebagai berikut:
1. Dikarenakan adanya kesamaan orientasi seksual.
2. Adanya kesamaan gaya hidup
3. Adanya kesamaan tujuan yaitu ingin agar keberadaan komunitas mereka dapat diterima masyarakat.

Dengan kesamaan tersebut di atas, seseorang (lesbian) mempunyai ikatan emosional yang kuat antar satu dengan lainnya, yang mempunyai perasaan senasib, kesamaan orientasi seksual, dan memperjuangkan hal yang sama yaitu perjuangan untuk mendaptkan pengakuan di masyarakat, negara dan hukum. Maka terbentuklah komunitas LGBT ini dengan harapan dan tujuan agar kelak perjuangan mereka untuk dapat diterima oleh masyarakat umum dan negara sebagai bagian dari mereka tanpa adanya perbedaan seperti sekarang ini.
Homoseksualitas adalah rasa ketertarikan romantis dan/atau seksual atau perilaku antara individu berjenis kelamin atau gender yang sama. Sebagai orientasi seksual, homoseksualitas mengacu kepada pola berkelanjutan atau disposisi untuk pengalaman seksual, kasih sayang, atau ketertarikan romantis terutama atau secara eksklusif pada orang dari jenis kelamin sama. Istilah umum dalam homoseksualitas yang sering digunakan adalah lesbian untuk perempuan pecinta sesama jenis dan gay untuk pria pecinta sesama jenis.
Media massa menggambarkan kaum LGBT sebagai kaum yang menyimpang. Media massa Barat yang memiliki peran utama dalam penyebaran informasi dalam proses globalisasi telah menyebarkan stereotipe yang diskriminatif terhadap kaum ini. Begitu juga dengan citra kaum homoseksual, salah satu stereotip yang berkembang dalam masyarakat Indonesia dan dunia adalah mengenai kaum homoseksual yang dianggap menyimpang dari norma. Selain dianggap menyimpang, beberapa pemberitaan tentang kasus kriminal yang dilakukan kaum homoseksual juga kerap membuat masyarakat menarik kesimpulan bahwa homoseksual cenderung melakukan kekerasan.
Pencitraan yang sudah begitu melekat dalam benak masyarakat ini kemudian berkembang menjadi stereotip yang kemudian diteruskan generasi ke generasi (Gabner, 2007: 9). Misal, teroris itu identik dengan janggut dan sorban. Foto atau video teroris berjanggut dan bersorban menanamkan pemahaman di masyarakat kalau teroris itu berjanggut dan bersorban.

II.3 REPRESENTASI MEDIA TERHADAP KELOMPOK LGBT

BERITA I
Tessy Srimulat, berkah berdandan seperti wanita
http://cdn.klimg.com/merdeka.com/media/i/a/logo-detail-www.pngReporter : Sukma Alam | Sabtu, 4 Januari 2014 06:34

Tessy Srimulat, berkah berdandan seperti wanita

Tessy Srimulat, sosok komedian yang sangat melekat di masyarakat pada era 1980-an. Di setiap penampilannya, dia selalu hadir dengan dandanan serba menor, dan bergaya layaknya seorang perempuan. Tak lupa menyematkan cincin akik di jari-jarinya dan menjadikannya sebagai ciri khas.

Adalah Kabul Basuki, pria yang berada di balik sosok Tessy ini. Pria kelahiran 31 Desember 1947 ini mengambil nama Tessy karena terinspirasi dari nama putri sulungnya sendiri, Tessy Wahyuni Riwayati Hartatik.

Sebelum menjadi pelawak, Kabul sempat menjadi bagian dari operasi pembebasan Irian Barat pada 1961-1963. Dia merupakan bagian dari pasukan Marinir Angkatan Laut.

Lepas dari kariernya di dunia militer, Kabul memilih bergabung dengan seni panggung hiburan rakyat di
Surabaya, kemudian bergabung bersama Srimulat Surabaya pada 1979.

Saat bergabung bersama Srimulat itulah ia mulai tampil sebagai wanita. Gaya ini dimulainya ketika berperan sebagai hansip dengan gaya gemulai. Sejak itu, ia terus berperan sebagai perempuan.

Ketika itu, Tessy mengaku tampil dengan gaya wanita atas inisiatifnya sendiri. Dia seakan tidak peduli meski penampilannya pria asal Banyuwangi ini mendapat banyak cibiran. Baginya, peran itu membawa suatu keberkahan bagi keluarga.

Keaktifannya di dunia hiburan mulai menurun ketika dirinya mendapat teguran keras dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pada 2008 lalu. KPI beralasan, peran yang diperagakan itu merusak moral generasi anak bangsa, namun ia tetap membela diri dengan menyatakan penampilan itu merupakan ciri khasnya sebagai pelawak.

Pelawak Senior ini beranggapan, selama memainkan peran sebagai wanita, dia tidak pernah bermaksud untuk masyarakat meniru gayanya. Justru Tessy berharap, perannya itu dapat menghibur masyarakat. Terutama agar publik tahu perannya telah menjadi sebagai sumber penghidupannya.

Tessy menyatakan, tak pernah menyesali penampilannya sebagai pelawak yang kebanci-bancian. Bahkan, ia balik menuding KPI telah melanggar hak seseorang untuk berkreasi dan berkarya.
"Saya berterima kasih sama KPI. Karena KPI telah membunuh karakter saya. Saya tidak boleh pakai- pakaian cewek. Itu saya merasa tidak masuk akal. Jadi Tessy akan menjadi Tessy bukan Tesso. Bukan yang lain," keluh Tessy seperti dilansir KapanLagi.com pada Kamis (12/07/2012).

Menurut pengamat media, Dadang Rahmat Hidayat, munculnya program dengan menampilkan sejumlah pemainnya dengan gaya kebanci-bancian merupakan fenomena yang tidak akan hilang. Sebab, kemunculan mereka lebih banyak dipengaruhi oleh fenomena sosial.

"Ini memang fenomena yang menurut saya akan terus menerus muncul, karena fenomena media itu sering kali tdk bisa lepas dari fenomena sosial," ujar Dadang yang juga mantan Ketua KPI kepada merdeka.com





BERITA II
Komunitas LGBT: Perdamaian Milik Semua Orang
Minggu, 20 September 2015 14:55 WIB
Tribunnews.com/Dennis Destryawan

Komunitas LGBT merayakan Hari Perdamaian Dunia, jatuh tiap 21 September, di Balai Kota Jakarta, Minggu (20/9/2015). 


Komunitas LGBT: Perdamaian Milik Semua Orang 








Laporan Wartawan Tribunnews.com, Dennis Destryawan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Komunitas Lesbian Gay Bisexual Transgender (LGBT) Jakarta di Hari Perdamaian Internasional ini berharap tidak ada lagi diskriminasi menimpa mereka.

“Harapan kita perdamaian itu milik semua orang tanpa pandang agama, suku, dan orientasi seksual. Enggak ada lagi diskriminasi ke komunitas LGBT,” ujar Sekretaris Umum LSM Arus Pelangi, Rian di Balai Kota Jakarta, (20/9/2015).

Selama ini kaum LGBT sering mengalami kekerasan, entah itu cemoohan atau kekerasan fisik. Sulit sekali seorang wanita pria (waria) untuk mendapatkan pekerjaan di sektor formal dan pemerintahan. Sehingga sebagian mereka memilih bungkam dan tidak menceritakan diri mereka adalah kaum LGBT.
“Bagi mereka yang tidak terbuka orientasi seksualnya masih bisa bekerja di sektor formal. Banyak yang tidak terbuka, karena kalau terbuka banyak dari mereka yang akan mengalami penolakan," terang Rian.
Pada 1981 PBB menetapkan Hari Perdamaian Dunia jatuh tiap 21 Sepember tapi mulai dirayakan setahun berikutnya. Kini di berbagai tempat di Indonesia, lintas organisasi termasuk komunitas LGBT merayakannya.

II.4 PENGARUH MEDIA  TERHADAP PERSEPSI MASYARAKAT PADA KAUM LGBT (ANALISIS DARI KEDUA BERITA)

BERITA I
Dalam kasus diatas, penampilan tokoh banci di media massa, khususnya televisi dijadikan komoditas yang mempunyai nilai jual untuk khalayak dan pengiklan. Framing terus menerus dilanggengkan media massa dalam pencitraan terhadap banci. Hal ini berimbas negatif pada kaum transgender yang tidak ada kepentingan komersial sama sekali dalam dunia hiburan. Mereka mendapat perlakuan yang sama, diperolok dalam kehidupan nyata sebagaimana khalayak memperlakukan tokoh-tokoh banci di televisi. Sisi lain dari seorang transgender tidak dipandang oleh kebanyakan orang yang sudah memiliki stereotipe seperti yang telah ditanamkan media massa.
BERITA II
Dari contoh kasus diatas dapat kita simpulkan bahwa eksistensi dan perkembangan kelompok Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender/Transeksual (LGBT) tidak terlepas dari perkembangan globalisasi. Hal itu semakin nyata sebab di tengah derap arus globalisasi kelompok LGBT kian berani menunjukkan eksistensi dan jati diri mereka. Tidak hanya di negara-negara Barat yang menjunjung kebebasan dan nilai-nilai liberal, di Indonesia sebagai negara dengan budaya Timur kelompok LGBT semakin gencar memperjuangkan dan menampakkan orientasi seksual dan identitas gender mereka. Tidak heran kemudian jika kelompok atau komunitas  LGBT tumbuh subur dengan berusaha menuntut pengakuan atas hak-hak mereka sebagai warga negara dan sebagai manusia.
Media massa dipengaruhi oleh ideologi dimana dia berada di negara itu, misalnya Indonesia dan Amerika. Media massa sendiri bukanlah institusi yang netral dalam memberitakan sesuatu. Adanya stereotipe negatif mengenai kaum LGBT tidak terlepas dari peran institusi agama yang memiliki posisi kuat dalam masyarakat Indonesia. Agama mayoritas menolak keberadaan kaum non-heteroseksual dengan basis ajaran dari Tuhannya. Di Barat sendiri, di mana agama Kristen banyak berkembang juga mengajarkan hal serupa. Kaum LGBT belum mendapat tempat untuk diterima oleh agama tersebut karena hubungan kaum LGBT dianggap menyimpang.
Media massa yang melakukan framing memberikan kemungkinan sangat kecil bagi cara pandang berbeda dari masyarakat dalam melihat kaum LGBT. Sekalipun ada pemberitaan positif mengenai kaum LGBT, media menyeleksi informasi tersebut dan ketika suatu hal yang pro kaum LGBT menyeruak, maka yang terjadi adalah kontroversi. Hal ini merupakan sesuatu yang tidak umum diterima masyarakat yang sudah terlanjur memaknai LGBT sebagai suatu momok sesuai arahan media massa.














BAB III
KESIMPULAN

Representasi adalah bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam pemberitaan. Menurut Stuart Hall ada dua proses representasi. Pertama , representasi mental yaitu konsep tentang ‘sesuatu’ yang ada di kepala kita masing-masing (peta konseptual). Representasi mental masih merupakan sesuatu yang abstrak. Kedua, ‘bahasa’ yang berperan penting dalam proses konstruksi makna. Menurut David Croteau dan William Hoynes, Representasi merupakan hasil dari suatu proses penyeleksian yang menggarisbawahi hal-hal tertentu dan hal lain diabaikan.
Komunitas LGBT  yang terpinggirkan merupakan suatu komunitas yang terbentuk berdasarkan persamaan orientasi seksual, persamaan tujuan dan gaya hidup. Dimana komunitas LGBT tersebut masih belum bisa diterima secara utuh oleh masyarakat maupun negara. Keberadaan komunitas LGBT yang dianggap suatu penyimpangan, melanggar norma agama serta menentang kodrat yang menyebabkan belum bisanya komunitas tersebut diterima sepenuhnya oleh masyarakat dan negara.
Media massa menggambarkan kaum LGBT sebagai kaum yang menyimpang. Media massa Barat yang memiliki peran utama dalam penyebaran informasi dalam proses globalisasi telah menyebarkan stereotipe yang diskriminatif terhadap kaum ini. Begitu juga dengan citra kaum homoseksual, salah satu stereotip yang berkembang dalam masyarakat Indonesia dan dunia adalah mengenai kaum homoseksual yang dianggap menyimpang dari norma. Selain dianggap menyimpang, beberapa pemberitaan tentang kasus kriminal yang dilakukan kaum homoseksual juga kerap membuat masyarakat menarik kesimpulan bahwa homoseksual cenderung melakukan kekerasan.






DAFTAR PUSTAKA
ü  Eriyanto, Analisis Wacana. 2001, Yogyakarta: LKiS
ü  Seto, Indiwan. Semiotika Komunikasi. 2011, Jakarta: Mitra Wacana Media
ü  Mcquail, Dennis. Teori Komunikasi Massa. 1987, Jakarta: Erlangga
ü  Being_LGBT_in_Asia_Indonesia_Country_Report_Bahasa_language.pdf
ü  Citra Homoseksual Dalam Media Masyarakat Online Nasional.pdf
ü  Media dan Kelompok Rentan di Indonesia, (Nugroho, Nugraha et all.,2012)











1 komentar:

  1. SkyBet Casino: New Customer Offer | 2021/2022
    SkyBet Casino is a fantastic online find air jordan 18 retro red suede casino. SkyBet is a fantastic sportsbook, but air jordan 18 retro racer blue sports also has excellent customer 도박영화 service, air jordan 18 retro great casino make air jordan 18 retro red suede experience.

    BalasHapus